PEMBELAJARAN
ANAK DI SEKOLAH DASAR
( Makalah ini Dibuat Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori
Pembelajaran yang Dibimbing oleh Bapak Mujtahidin, S.Pd, M.Pd )
Disusun
Oleh :
1.
Pita Surya Dewi
` 120611100190
2.
Nurul Alfiyah Widyawati 120611100210
3.
Selvia Indriani 120611100212
4.
Sri
Rahayu Putri 120611100213
5.
Imami
Kholifatul Jannah 120611100221
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
2012
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadiratAllah SWT, atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar” ini tepat
pada waktunya.
Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam
kesempatan ini. Kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan
makalah ini.
Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Walaikumsalam Wr. Wb.
Hormat kami,
Tim
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………...........…... i
DAFTAR ISI……………………………………………………….…………..........….... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang………………………………………..………..………........… 1
1.2 Rumusan
Masalah……………………….…………………...……….......…....
2
1.3 Tujuan……………………………………………………..……………...….... 2
1.4 Manfaat………………………………………………..…………….......……. 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Rentang Usia Anak Sekolah Dasar …………………………………….......... 3
2.2 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar
.....……………….... 3
2.2.1 Perkembangan Kognitif ……………………………………............
4
2.2.2 Perkembangan Psikososial ……………………………………........
9
2.2.3 Perkembangan Moral ……………………………………….…...... 14
2.3 Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar ……………………………………..... 17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan …………………………………………………….………........ 21
3.2 Saran ……………………………………………………………………....... 21
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Anak adalah
titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang
berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan
kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan.
Setiap anak
dilahirkan bersamaan dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Tak ada satu pun
yang luput dari Pengawasan dan Kepedulian-Nya. Hal ini merupakan tugas orang tua dan guru untuk dapat menemukan potensi tersebut.
Syaratnya adalah penerimaan yang utuh terhadap keadaan anak.
Dalam bidang
pendidikan seorang anak dari lahir memerlukan pelayanan yang tepat dalam
pemenuhan kebutuhan pendidikan disertai dengan Pemahaman mengenai karakteristik
anak sesuai pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat membantu dalam
menyesuaikan proses belajar bagi anak dengan usia, kebutuhan, dan kondisi
masing-masing, baik secara intelektual, emosional dan sosial.
Masa usia Sekolah Dasar merupakan periode emas (golden age) bagi
perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah
tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di
lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan aspek kepribadian, kognitif, psikososial, maupun moralnya.
Untuk itu pendidikan anak untuk usia
Sekolah Dasar dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi)
dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pembentukan kemampuan siswa di sekolah dipengaruhi
oleh proses belajar yang ditempuhnya. Proses belajar akan terbentuk berdasarkan
pandangan dan pemahaman guru tentang karakteristik siswa dan juga hakikat
pembelajaran.
Dengan demikian, proses belajar perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan pemahaman para guru mengenai rentang
usia, karakteristik perkembangan dalam aspek kognitif, psikososial
dan moral serta proses
pembelajaran yang
efektif untuk siswa Sekolah Dasar.
1.2 Rumusan
Masalah
1) Berapa
Rentang usia anak Sekolah Dasar ?
2) Bagaimana
karakteristik perkembangan anak usia Sekolah Dasar, berdasarkan :
a. Teori
Perkembangan Kognitif ;
b. Teori
Perkembangan Psikososial ; dan
c. Teori
Perkembangan Moral ?
3) Bagaimana
Pembelajaran Anak di Sekolah Dasar beradasarkan perkembangan kognitif,
psikososial, dan moral anak usia SD ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan
penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
1)
Memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran.
2)
Mengetahui rentang
usia anak Sekolah Dasar dan karakteristik yang dimilikinya serta peran guru
dalam pembelajaran anak usia Sekolah Dasar.
3)
Mengetahui karakteristik perkembangan
usia Sekolah Dasar, berdasarkan : Teori Perkembangan Kognitif, Teori
Perkembangan Psikososial, dan Teori Perkembangan Moral.
4)
Mengetahui Pembelajaran Anak di Sekolah
Dasar.
1.4 Manfaat
1)
Memudahkan mahasiswa dalam memahami
karakteristik perkembangan anak Sekolah Dasar.
2)
Memberikan pandangan kepada mahasiswa
dalam melakukan Pembelajaran Anak di
Sekolah Dasar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Rentang Usia Anak Sekolah Dasar
Masa usia sekolah dasar
sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga
kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa
sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam
banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan
dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik
anak.
Tingkatan kelas di sekolah dasar dapat dibagi
menjadi dua, yaitu kelas rendah dan kelas
tinggi.
Kelas rendah terdiri dari kelas satu, dua, dan tiga, sedangkan kelas-kelas
tinggi terdiri dari kelas empat, lima, dan enam (Supandi, dalam Anitah, dkk., 2008). Di Indonesia, rentang
usia siswa SD, yaitu antara 6 atau 7 tahun sampai 12 tahun. Usia siswa pada
kelompok kelas rendah, yaitu 6 atau 7 sampai 8 atau 9 tahun. Siswa yang berada
pada kelompok ini termasuk dalam rentangan anak usia dini. Masa usia dini ini
merupakan masa yang pendek tetapi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh
karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga
akan berkembang secara optimal.
2.2 Karakteristik Perkembangan
Anak Usia Sekolah Dasar
Siswa Sekolah
Dasar merupakan individu unik yang memiliki karakteristik tertentu
yang bersifat khas dan
spesifik. Pada dasarnya setiap siswa adalah individu yang berkembang.
Perkembangan siswa akan dinamis sepanjang hayat mulai dari kelahiran sampai
akhir hayat, Dalam hal ini pendidikan maupun pembelajaran sangat dominan
memberikan konstribusi untukek membantu dan mengarahkan perkembangan siswa
supaya menjadi positif dan optimal. Setiap siswa memiliki irama dan kecepatan
perkembangan yang berbeda – beda dan bersifat individual.
Perkembangan
siswa merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam proses belajar.
Seluruh aktifitas proses belajar harus berpusat pada kebutuhan siswa (child centered) dan pada aspek tuntutan
masyarakat (society centered). Fase –
fase perkembangan yang dialami siswa harus dipahami oleh guru supaya dalam
pembelajaran tidak mengalami hambatan psikologis yang mengakibatkan hasil
belajar tidak optimal.
Perkembangan
siswa sekolah dasar usia 6-12 tahun yang termasuk pada perkembangan masa
pertengahan (middle childhood)
memiliki fase-fase yang unik dalam perkembangannya yang menggambarkan peristiwa
penting bagi siswa yang bersangkutan. Tahap perkembangan siswa dapat dilihat
dari aspek Kognitif, Psikososial, dan Moral.
2.2.1 Teori Perkembangan
Kognitif
Dalam praktek
pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan
seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance
organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarki belajar oleh
Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan
lebih rinci beberapa pandangan mereka.
Jean Piaget
membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan
dan semakin canggih seiring pertambahan usia :
1. Tahapan
sensorimotor (usia 0–2 tahun)
2. Tahapan
praoperasional (usia 2–7 tahun)
3. Tahapan
operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
4. Tahapan
operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
1.
Tahapan
sensorimotor
Menurut
Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi
dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode
pertama dari empat periode. Bagi anak yang berada
pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan
sensori (koordinasi alat indra).
Piaget
berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman
spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a. Sub-tahapan skema refleks,
muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan
refleks.
b. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari
usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya
kebiasaan-kebiasaan.
c. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul
antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan
koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder,
muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan
untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda
kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e. Sub-tahapan fase
reaksi sirkular tersier,
muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama
dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
f. Sub-tahapan awal representasi simbolik,
berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2.
Tahapan
praoperasional
Tahapan
ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan
permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis
yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi
dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih
bersifat egosentris: anak kesulitan
untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan
objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau
bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda.
Menurut
Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul
antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan
keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan
kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif
bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka
tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan
satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di
sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami
perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat
imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun
memiliki perasaan.
3.
Tahapan operasional konkrit
Tahapan
ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai sebelas
tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses
penting selama tahapan ini adalah:
a)
Pengurutan—kemampuan
untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya,
bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil.
b)
Klasifikasi—kemampuan
untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya,
ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian
benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak
tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua
benda hidup dan berperasaan)
c)
Decentering—anak
mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa
memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi
pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
d)
Reversibility—anak
mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke
keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e) Konservasi—memahami
bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan
dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai
contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka
akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di
gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
f) Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan
untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang
memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan,
kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Ciri
pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan
kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetatpi hanya
dengan benda-benda yang bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan
untuk memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya
kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga
tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat
kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model
“kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil
yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi.
4.
Tahapan operasional formal
Tahap
operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas)
dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi
abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul
saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai
masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran
dari tahap operasional konkrit.
Berdasarkan uraian di
atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap
operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis,
masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir
logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan
konservasi.
Bertitik tolak pada
perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal
yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih
berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari
hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia
pengetahuan.
Pada usia ini mereka
masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di lingkungan
sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di dalam
lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat
terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin
tahu dan ingin belajar, (3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap
hal-hal dan mata pelajaran khusus, oleh ahli yang mengikuti teori faktor
ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor, (4) pada umumnya anak
menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikan sendiri, (5)
pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat
mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk kelompok
sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan
Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami
perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan
badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut
tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga
aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual
pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik
siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas
perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan
baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa
sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih
bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro
aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam
kelompok. Guru juga dituntut untuk harus menjadi model/teladan yang baik bagi
siswa serta guru harus berhati – hati dalam bersikap, berbicara, dan berbuat
karenaa akan sangat bepengaruh terhadap kepribadian peserta didik.
2.2.2
Teori Perkembangan
Psikososial
Teori Erik Erikson tentang
perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori
perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan
psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi
sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman
dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat
membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson
disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8
(delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya
bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat
berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan
dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika
tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika
tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan
perasaan tidak selaras.
Dalam setiap
tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang
merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik
ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk
mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi
meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust
vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
§ Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan.
§ Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara
kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam
hidup.
§ Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan
pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
§ Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman
dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional,
atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di
asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan
kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2.
Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
§ Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun.
§ Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi
selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari
pengendalian diri.
§ Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah
bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup
berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh
seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
§ Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih
yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
§ Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri,
sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap
diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative)
vs rasa bersalah (Guilt)
§ Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
§ Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan
dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih
tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut
perilaku aktif dan bertujuan.
§ Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin
orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
§ Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah,
perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak
menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat
merasa sangat cemas.
§ Erikson
yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa
berhasil.
Tahap 4. Industry vs
inferiority (Percaya diri vs rasa rendah diri)
§ Terjadi pada usia 6 s/d 12 tahun
§ Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka.
§ Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun perasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
§ Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua,
guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil atau
menimbulkan perasaan rendah diri.
§ Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan
pengalaman-pengalaman baru.
§ Ketika
beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual. Permasalahan yang dapat timbul pada tahun
sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah
diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
§ Erikson
yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan
anak-anak.
§ Penanaman
nilai – nilai moral sperti kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung jawaab,
penghargaan, kedermawanan dan lain sebagainya dapat membantu siswa melewati
fase kritis, sebab lingkungan sosial yang terbentuk dapat memberikan kesempatan
yang luas bagi siswa untuk mengembangkan sikap positifnya.
Tahap 5. Identity vs
identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
§ Terjadi pada masa remaja, yakni usia 12 s/d 20 tahun
§ Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
§ Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan
kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap
kedewasaan).
§ Anak
dihadapkan memiliki banyak
peran baru dan status sebagai orang dewasa
–pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu
peran khusus.
§ Jika remaja
menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk
diikuti dalam kehidupan,
identitas positif akan dicapai.
§ Jika suatu
identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika
remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan
positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
§ Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal,
kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap
ini.
§ Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan
muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy
vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
§ Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
§ Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan
yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.
§ Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit
dan aman.
§ Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk
mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka
yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen
dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional,
kesendirian dan depresi.
§ Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak
dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity
vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
§ Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
§ Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap
karir dan keluarga.
§ Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka
berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta
komunitas.
§ Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak
terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity
vs depair (integritas vs putus asa)
§ Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
§ Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
§ Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
§ Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
§ Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan
keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
§ Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
Hal tersebut
berkaitan dengan perkembangan dan perubahan emosi individu.
J.Havighurst mengemukakan bahwa setiap perkembangan individu harus
sejalan dengan perkembangan aspek lain seperti di antaranya adalah aspek
psikis, moral dan sosial.
Menjelang masuk
SD, anak telah Mengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan pengruh sosial
yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris (berpusat
pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan taman kanak‐kanaknya.
Selama duduk di
kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah diri. Pada
tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka "dewasa".
Mereka merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya tahap
ini disebut tahap "I can do it my self". Mereka sudah mampu
untuk diberikan suatu tugas.
Daya konsentrasi
anak tumbuh pada kelas kelas besar SD. Mereka dapat meluangkan lebih banyak
waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka dengan senang
hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri,
kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara cara yang dapat diterima
lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur.
Selama masa ini
mereka juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan membandingkannya dengan
orang lain. Anak anak yang lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social
comparison) terutama untuk norma‐norma sosial dan kesesuaian jenis‐jenis
tingkah laku tertentu. Pada saat anak‐anak tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung
menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan
kemampuan mereka sendiri.
Sebagai akibat
dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar di SD
berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang
dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan
emosional mereka. Di kelas besar SD anak laki‐laki
dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan
bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam kelompok dapat membawa pada
masalah emosional yang serius Teman‐teman mereka menjadi lebih penting daripada
sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya sangat tinggi. Remaja
sering berpakaian serupa. Mereka menyatakan kesetiakawanan mereka dengan
anggota kelompok teman
sebaya melalui pakaian atau perilaku.
Hubungan antara
anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah, anak
dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas
besar SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan
informasi pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua
mereka. Beberapa anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model.
Sementara itu,
ada beberapa anak membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka bayangkan
beberapa tahun sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka
menentang gurunya.
Salah satu tanda
mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas yaitu
kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak
mereka sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari bahwa ada
perbedaan antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta bagaimana
mereka berperilaku.
Mereka mulai
mempertimbangkan kemungkinan‐kemungkinan. Remaja mudah dibuat tidak puas oleh diri
mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri
mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah perilaku mereka. Pada
remaja usia 18 tahun sampai 22 tahun, umumnya telah mengembangkan suatu status
pencapaian identitas.
Adapun peranan guru dalam pembelajaraan psikososial di Sekolah Dasar,
anatara lain:
ü Guru/
pendidik hendaknya membekali peserta didik dengan nilai – nilai moral yang akan
membentuk karakter siwa menuju sikap positif siswa.
ü Nilai-nilai
moral ini haarus ditanamkan agar siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi
sehingga lingkungan sosial yang positif jugaa dapat terbentuk. Hal ini dapat
membantu rasa percaya dirinya yang kuat dan karakter yang positif.
2.3.3
Teori Perkembangan
Moral
Dewey pernah
membagikan proses perkembangan moral atas 3 tahap yaitu: tahap pramoral, tahap konvensional dan tahap otonom.
Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan mengolongkan seluruh pemikiran
moral anak seturut kerangka pemikiran Dewey: (1) tahap “pramoral”, anak belum menyadari ketertikatannya pada aturan; (2)
tahap “konvensional”, dicirikan oleh
ketaatan pada kekuasaan; (3) tahap “otonom”,
bersifat keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas. Berdasarkan
pada penelitiannya, Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam seluruh
proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe ideal
itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga
“tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas dua “tahap”. ketiga “tingkat” itu
adalah tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca-konvensional.
Meski anak prakonvensional sering kali berperilaku “baik” dan tanggap terhadap
label-label budaya mengenai baik dan buruk, namun ia menafsirkan semua label
ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran
kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan
dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingkat ini biasanya ada pada anak-anak yang berusia empat hingga sepuluh
tahun.
Tingkat kedua
atau tingkat konvensional juga dapat
digambarkan sebagai tingkat konformis, meskipun istilah itu mungkin terlalu
sempit. Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa, dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya, tanpa
mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya
menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan,
mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu.
Tingkat pasca-konvensional dicirikan oleh
dorongan utama menuju ke prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, yang memiliki
validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau
pribadi-pribadi yang memegangnya dan terlepas pula dari identifikasi si
individu dengan pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tersebut. Pada tingkat
ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral
yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok
atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu.
Tahap - Tahap Moral :
Pada tingkat Prakonvensional kita menemukan:
Tahap I – Orientasi hukuman dan kepatuhan:
Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan
yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai
manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 – Orientasi relativis-intrumental:
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan
antarmanusia dipandang seperti hubungan di tempat umum. Terdapat unsur-unsur
kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu
selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal ”Jika anda menggaruk punggungku, nanti aku
akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan
soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat Konvensional kita menemukan:
Tahap 3 – Orientasi kesepakatan antara pribadi
atau Orientasi ”Anak manis”: Orientasi ”anak manis”. Perilaku yang baik
adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui
oleh mereka. Terdapat banyak konformitas dengan gambaran-gambaran stereotip
mengenai apa yang diangap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang
’wajar’. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik”
untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan.
Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Adapun ciri – ciri Tahap Orientasi
Anak Manis :
·
Anak SD/MI sudah mampu melakukan penalaran moral
melalui struktur kognitifnya, yakni dengan melakukan penalaran moral.
·
Penalaran moral anak usia SD/MI dapat dilakukan
melalui contoh kisah teladan.
·
Dengan kemampuan penalaran moral inilah maka nilai,
moral, dan norma akan mempribadi dalam diri peserta didik.
·
Penanaman nilai dan moral dapat dilakukan melalui “
Pendekatan dilema moral ” dalam pembelajaraan.
·
Menurut Kohlberg, dilema moral dapat digunakan untuk
menunjukkan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap.
Tahap 4 – Orientasi hukum dan ketertiban:
Orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan
sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa
hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi
tata aturan itu sendiri. Orang mendapatan rasa hormat dengan berperilaku
menurut kewajibannya.
Pada tingkat Pasca-Konvensional kita melihat:
Tahap 5 – Orientasi kontrak sosial legalistis:
Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan
utilitarian. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak
bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh
seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesedaran yang jelas mengenai relativisme
nilai-nilai dan pendapat-pedapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang
sesuai untuk mencapai kesepakatan. terlepas dari apa yang disepakati secara
konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai”
dan ”pendapat” pribadi. hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan
legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan
sodial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban” seperti
pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas
merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban. Inilah moralitas ”resmi”
pemerintahan Amerika Serikat dan mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran
para penyusun Undang-Undang.
Tahap 6 – Orientasi Prinsip Etika Universal:
Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih
sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan
konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas,
kategoris imperatif). Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal
mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa
hormat terhadap martabat manusia sebai person individual.
Adapun peranan guru
dalam pembelajaran moral
di Sekolah Dasar, antara lain :
·
Guru hendaknya mengajarkan nilai dan moral setahap demi setahap
melalui pendekatan Kisah Teladan, Dilema Moral, dan Keteladanan.
·
Guru harus memberikan stimulus agar
peserta didiknya terdorong untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai,
moral dan norma yang ada.
·
Pemberian pjian atau hukuman secara spontan
pada setiap perilaku siswaa yang kurang baik atau yang baik sangat diperlukan
untuk merangsang perkembangan moral siswa.
2.4 Pembelajaran
Anak di Sekolah Dasar
Pada
penerapan pembelajaran siswa di SD hendaknya dilakukan sebuah pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki dan kebutuhan yang
diperlukan oleh anak usia SD karena hal ini dapat menumbuhkan kembangkan
potensi peserta didik dan menumbuhkan semangat belajar anak SD, seperti contoh
:
1.
Anak
usia SD Senang bermain
Maksudnya
dalam usia yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain dan menghabiskan waktunya hanya untuk
bermain karena anak masih polos yang dia tahu hanya
bermain maka dari itu agar tidak megalami masa kecil kurang bahagia anak tidak boleh dibatasi dalam bermain. Peranan guru SD yaitu harus mengetahui karakter anak sehingga dalam
penerapan metode atau model pembelajaran bisa sesuai dan mencapai sasaran, misalnya
model pembelajaran
yang santai namun serius, bermain
sambil
belajar, serta dalam menyusun jadwal pelajaran
yang berat(IPA, matematika dll.)
dengan diselingi pelajaran yang ringan(keterampilan, olahraga dll.)
2.
Anak
usia SD Senang bergerak
Anak
senang bergerak maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya anak menjadi hiperaktif lonjak kesana
kesini bahkan seperti merasa tidak capek mereka tidak mau diam dan duduk saja
menurut pengamatan para ahli anak duduk tenang paling
lama sekitar 30 menit. Peranan guru SD
hendaknya merancang
model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Mungkin dengan permaianan, olahraga dan
lain sebagainya.
3. Anak usia SD Senang
bekerja dalam kelompok
Anak
senang bekerja dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia,
anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Peranan guru SD yaitu dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anak - anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.
anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelomppok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Peranan guru SD yaitu dapat membuat suatu kelompok kecil misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anak - anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.
4. Anak usia SD Senang
merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung
Ditinjau
dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional
konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep
konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Peranan guru SD hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angin, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angin, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angin saat itu bertiup.
5. Anak usia SD Anak
cengeng
Pada
umur anak SD, anak masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin
diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Peranan guru SD yaitu membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membimbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng.
diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Peranan guru SD yaitu membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membimbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng.
6.
Anak usia SD Anak
sulit memahami isi pembicaraan orang lain
Pada
pendidikan dasar yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang diberikan guru. Peranan guru SD harus dapat membuat atau menggunakan
metode yang tepat misalnya dengan
cara metode
ekperimen agar anak dapat memahami pelajaran yang diberikan dengan menemukan sendiri inti dari
pelajaran yang diberikan sedangkan dengan
ceramah
yang dimana guru Cuma berbicara didepan membuat anak malah tidak memahami isi dari apa yang dibicarakan oleh
gurunya.
7.
Anak
usia SD Senang
diperhatikan
Di
dalam suatu interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau
gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara
dilakukan agar orang memperhatikannya. Peran guru SD untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertanya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya.
gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara
dilakukan agar orang memperhatikannya. Peran guru SD untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertanya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya.
8.
Anak usia SD Senang
meniru
Dalam
kehidupan sehari hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat
dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Peranan guru SD harus menjaga tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik untuk anak didik kita.
dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah. Contoh lain yang biasanya ditiru adalah seorang guru yang menjadi pusat perhatian dari anak didiknya. Peranan guru SD harus menjaga tindakan, sikap, perkataan, penampilan yang bagus dan rapi agar dapat memberikan contoh yang baik untuk anak didik kita.
Dilihat dari karakeristik Perkembangan Kognitif, pembelajaran untuk siswa di SD harus
diarahkan pada konsep – konsep yang bersifat konkret dan menyangkut dunia keseharian siswa dan jangan
mengajarkan siswa dengan contoh – contoh yang abstrak. Pembelajaran untuk siswa
di SD harus ditekankan pada penanaman nilai – nilai oleh guru kepada siswa
dilakukan melalui keteladanan. Siswa membutuhkan contoh keteladanan melalui
sikap yang ditunjukkan oleh guru/pendidik dan bukan contoh yang berupa kata –
kata maupun konsep yang abstrak. Adapun peranan guru dalam Pembelajaran anak di
SD yaitu dalam pembelajaran hendaknya sekonkret mungkin baik dalam menjelaskan
maupun memberikan contoh dan sebanyak mungkin melibatkan pengalaman –
pengalaman fisik siswa.
Dilihat dari karakteristik Perkembangan
Psikososial, pembelajaran seharusnya membentuk rasa kepercayaan diri peserta
didik pada usia SD/MI karena mulai mengembangkan kemampuan berfikir dan konsep
dirinya. Apabila pada tahap ini anak gagal membentuk kepercayaan dirinya maka
anak tersebut akan memiliki konsep diri negative atau rendah diri. Dalam
pembelajaran interaksi siswa dengan teman sebaya menjadi sangat penting, sebab
jika anak mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dapat membawa siswa
kearah pengembangan rasa mampu ( percaya diri ). Penanaman nilai – nilai moral seperti
kerjasama, kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, penghargaan, kedermawanan
dan lain sebagainya dapat membantu siswa melewati fase kritis, sebab lingkungan
sosial yang terbentuk dapat memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan
sikap positifnya. Guru/pendidik
hendaknya membekali peserta didik dengan nilai – nilai moral yang akan
membentuk karakter siwa menuju sikap positif siswa. Nilai-nilai
moral ini haarus ditanamkan agar siswa memiliki kepekaan sosial yang tinggi
sehingga lingkungan sosial yang positif juga dapat terbentuk. Hal ini dapat
membantu rasa percaya dirinya yang kuat dan karakter yang positif.
Dilihat dari karakteristik Perkembangan
Moral, pembelajaran dengan menumbuhkan penalaran moral pada
siswa SD dengan mengaitkan kisah- kisah tauladan seorang tokoh dalam suatu
materi pelajaran. Guru hendaknya mengajarkan nilai dasar setahap demi setahap melalui pendekatan
kisah teladan, dilema moral, dan keteladanan. Guru harus memberikan stimulasi
agar peserta didiknya terdorong untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan
nilai, moral dan norma yang ada. Pemberian pujian atau hukuman secara spontan
pada setiap perilaku siswa yang kurang baik atau yang baik sangat diperlukan
untuk merangsang perkembangan moral siswa.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pembelajaran
di SD hendaknya:
1. Menyesuaikan
karakteristik yang dimiliki oleh anak usia SD
2. Mengaitkan
hal-hal yang bersifat konkret pada setiap pembelajaran dengan tidak melibatkan
hal-hal yang abstrak yang dapat membingungkan anak SD
3. Menumbuhkan
rasa percaya diri sedini mungkin sehingga meminimalisir timbulnya rasa rendah
diri pada siswa SD
4. Memberikan
contoh kisah keteladanan para tokoh yang diterapkan langsung oleh guru SD dalam
setiap pembelajaran
3.2
Saran
Diharapkan
mahasiswa dapat menerapkan pembelajaran anak di Sekolah Dasar dengan
menyesuaikan krakteristik yang dimiliki oleh siswa SD.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujtahidin,S.Pd., M.Pd.
2012. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bangkalan:
Universiitas Trunojoyo Madura.
Sri Anitah, dkk. 2008. Strategi
Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Teori
Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka
ijin share buu
BalasHapusijin copas kak
BalasHapusizin jadikan bahan referensi yaa... terimakasih banyak
BalasHapusIzin copas sebagaimana referensi min
BalasHapusizin jadikan bahan referensi ya....
BalasHapusIjin jadikan bahan referensi makalah
BalasHapus